Minggu, 14 Desember 2008

Islam Di Indonesia Dari Masa Kolonial Hingga Reformasi

ISLAM DI INDONESIA DARI MASA KOLONIAL
HINGGA REFORMASI
oleh: Amalia Destika

Indonesia memang mendapat sorotan negara lain karena keunikannya, sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar memiliki model keberagaman tersendiri dengan mengawinkan budaya budaya lokalnya dengan substansi Islam itu sendiri. Islam Indonesia, memang sudah menjadi perhatian dunia, entah dalam rangka kepentingan kolonial, akademik, budaya maupun politik.
Islam di Indonesia pada masa kolonial Melihat periode ini sangatlah panjang. Namun, periode-periode ini bisa dilihat sebagai titik awal identitas Islam di Indonesia. Hal ini karena masuknya Islam di Indonesia yang ditandai dengan akulturasi budaya yang sangat kental, berjalan lancar dan tidak mengagetkan keberagamaan awal penduduknya.
Islam melebur dengan budaya lokal, menangkap spirit penyebaran agama yang harus disampaikan tanpa kekerasan. Tak ada kafiyeh, jilbab, masjid berkubah layaknya di Timur Tengah, kalaupun ada itu dalam hitungan angka. Banyak kalangan dalam dan luar mengakui keberhasilan ini, lepas dari perdebatan apakah Islam dibawa oleh pedagang Gujarat atau dari orang- langsung. Dari sinilah, citra Islam Arab tidak nampak di Indonesia, abad belakangan barulah nampak identitas Arab itu, lagi-lagi bukan dalam jumlah yang mayoritas.
Sementara itu, ketaatan kepada pemimpin atau pemuka agama yang nyaris tanpa reserve menjadi gambaran umum di banyak tempat. Hal ini malah menjadi kekuatan tersendiri di masa lampau. Masa kolonial Belanda misalnya, mengabadikan nama Snouck Hurgronje sebagai penasehat ulung pemerintahannya. Resistensi Muslim Aceh memang menjadi pekerjaan besar tersendiri bagi kolonial. Strategi inilah yang kemudian mengantarkan Snouck sampai di Tanah suci dan rahasia kekuatan Aceh terkuak, dan Aceh menjadi daerah di Indonesia yang paling akhir ditaklukan. Peristiwa ini kemudian menjadi sejarah penting bagaimana satu dari banyak tipologi Islam di Indonesia “ dimanfaatkan ” oleh dunia luar.
Selain gambaran politik Islam dan kolonial di masa itu, proses penyebaran Islam di Nusantara yang memang tidak persis seiring waktu dan tempat dengan kolonialisasi juga menarik dikemukakan. Pertama, sebagaimana dijelaskan di atas, akulturasi dan asimilasi budaya telah membentuk identitas Islam Indonesia sebagai agama pendatang. Identitas yang banyak disemangati oleh nilai toleransi itu telah membuat konfigurasi “anyar” antara agama yang datang dari Timur Tengah dan agama yang tunduk pada original culture menafikan substansi pesan “ langit ” agama itu. Kedua, meski kemudian menjadi agama mayoritas, Islam tidak menjadi dominan di seluruh area Indonesia, banyak daerah menjadi konsentrasi agama-agama tertentu, misalnya; Manado untuk Kristen, Bali untuk Hindu dsb. Fenomena ini sesungguhnya mengajarkan, bahwa di antara yang berbeda, tetap ada harmoni, dan untuk melawan kekerasan atas nama agama, kuncinya terletak pada toleransi, seperti di masa lalu, sesuatu yang sangat sulit kita temukan pada masa sekarang. Selain hal-hal di atas, masih banyak contoh lain di masa lalu yang menjadi fondamen warna Islam di Indonesia.

v Masa Kemerdekaan: Islam versus Komunis =Islam Komunis?
Yang menarik dari Islam masa ini adalah, era di mana gerakan komunis mulai mendapat momentumnya. Ketika ramai-ramai orang mempersepsikan komunis setali tiga uang dengan atheisme, komunisme di Indonesia malah berinteraksi secara baik-baik dengan kaum muslim. Kenapa? Karena komunisme adalah gerakan, bukan dimaknai sebagai ideologi an sich, ia bisa dijadikan model gerakan untuk memperbaiki ketidakberdayaan masyarakat, yang memang menjadi kondisi nyata bangsa Indonesia waktu itu.
Presiden Soekarno sendiri memaklumatkan ideologi Nasakom, yang sama sekali bukan sebagai relasi agama vis-a-vis komunisme tapi lebih sebagai perlawanan mengguritanya kapitalisme dan Soekarno merasa harus menemukan formula yang tepat mengatasi situasi keterpurukan ekonomi bangsa, belum stabilnya politik negara. Meski untuk itu, perkawanannya dengan negara-negara tetangga yang menjadikan komunis sebagai poros, barangkali banyak mengilhami pemikiran Soekarno dalam melihat persoalan di Indonesia.
Meski dunia lebih mencatat komunis di Indonesia sebagai gerakan kudeta, namun sebenarnya internalisasi nilai-nilai komunis dalam Islam menarik untuk ditelusuri. Beberapa dari mereka malah mencari titik persamaan antara keduanya, sebagai sesuatu yang oleh publik diantagoniskan, misalnya; keberpihakan terhadap yang lemah dan cita-cita mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

v Islam di Indonesia pada Masa Orde Baru
Tesa Clifford Gertz tentang kategori tiga muslim sebagai santri, abangan priyayi sebenarnya sudah lama terbantahkan. Meski analisanya tak sepenuhnya sahih, Gertz sesungguhnya telah melihat praktek-praktek keagamaan model masyarakat Jawa dibandingkan dengan konsep agamanya yang genuine. abangan, bisa dikatakan bahwa ada proses konversi yang tidak lengkap. Dalam waktu yang lama misalnya, orang-orang Jawa masih memelihara praktek tradisi Hindu dan menggunakan Islam dan Syariahnya hanya sebagai bungkus atau petunjuk formal dan wadah bagi kehidupan spiritual.
Pada era Soeharto, performance Islam Indonesia sebenarnya justru lebih pada kecurigaan kelompok-kelompok, pencatatan setiap pertemuan publik yang bersifat keagamaan, pembubaran organisasi yang dianggap menggerogoti Pancasila dan tindakan subversif.
Baru pada era 90-an Islam nampaknya menemukan momentum gerakannya. Ini misalnya ditandai dengan lahirnya ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di tahun 1992, greening birokrasi meminjam istilah Hefner dalam “ Civil Islam ” menjadi gairah baru kehidupan muslim di Indonesia. Sejak itu, atribut-atribut Islam pengamat lebih sering menyebutnya sebagai simbol menjadi warna keseharian kehidupan muslim.
Pilihan memakai busana muslimah, misalnya, sudah menjadi bagian dari kehidupan publik, dan fenomena tidak hanya terjadi di ICMI, namun seiring menguatnya gerakan tarbiyah Islam dari kaum urban. Gerakan ini, terutama dimotori kaum muda dari universitas-universitas umum.
Mereka menginginkan kehidupan yang khuysuk dengan menerapkan ajaran yang fundamental seperti masa Rasulullah saw, terutama cara berpakaian. Model yang sebenarnya ingin mengambil prinsip-prinsip literal al sunnah. Tak heran, kalau timbul guyonan baju menunjukkan identitas madzhabnya! Gerakan ini banyak mendapat perhatian pengamat asing, terutama untuk studi-studi akademik. Apalagi fenomena ini tidak hanya terdiri dari satu grup, namun muncul juga di grup yang lain dengan identifikasi khusus.
Sebagian kentara sekali warna Timur Tengahnya, sehingga kadang lebih mewakili eksistensi budaya Timur Tengahnya daripada pesan keagamaannya. Dengan fenomena ini bertambah lagi warna Islam di Indonesia. Kecenderungan-kecenderungan di atas, kemudian melahirkan Islam radikal, fundamental, moderat, liberal dan sebagainya. Mengapa? karena identitas itu memudahkan penggambaran gerakan masing-masing. Apakah Islam di masa lalu yang lebih menunjukkan identitas Islam Indonesia kemudian lenyap? Jawabnya, tidak sepenuhnya.
Namun gerakan yang paling banyak menarik media massa ini lebih sering ter-cover daripada Islam Indonesia sebelumnya. Meski awal-awal kemerdekaaan, kita tak melupakan gerakan DI/TII dan “ kekejaman ” kelompok Kartosuwiryo yang mencita berdirinya Islam di Indonesia. Islam Indonesia.
Sebelum Tragedi 11 September Studi Islam di Indonesia sebenarnya banyak menarik perhatian Islamist negeri terutama tentang raksasa dua organisasi massa Islam; NU dan Muhammadiyah. Namun, meski Indonesia kaya dengan banyak intelektual muslim, dari pihak organisasi manapun, mereka jarang terkenal dalam dunia Internasional.

v Islam di Indonesia Pada Masa Reformasi
Pasca Soeharto, yaitu era reformasi nampaknya merupakan momentum untuk melahirkan ekspresi Islam masing-masing, NU dan Muhammadiyah tidak lagi menjadi dwi-tunggal yang mengundang perhatian banyak pengamat asing. Selain NU dan Muhammadiyah, realitasnya, ada banyak organisasi massa Islam di Indonesia, misalnya Persis atau Perti, namun memang tidak sebesar dua organisasi sebelumnya.
Sementara itu, seperti disinggung di atas, era reformasi adalah era keterbukaan yang memungkinkan orang untuk mengekspresikan pikiran termasuk cara keberagaamaan. Ambillah contoh misalnya; lahirnya Front Pembela Islam (FPI) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Forum Komunikasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan Laskar Jihadnya, dan lain-lain. Masing-masing organisasi Islam ini lahir dengan karakternya masing-masing. Yang menarik, gerakan organisasi ini mampu menyedot perhatian media massa dengan coverage seluas-luasnya di media dalam dan luar negeri.
Wajar saja, karena selain sangat kental dengan simbol, gerakannya yang lebih mengandalkan unjuk kekuatan dalam melawan sesuatu di mana hal ini tidak dijumpai sebelumnya banyak orang dirugikan atas pembenaran tindakannya yang mengatasnamakan agama dengan kata lain jihad. Fenomena munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh menguatnya wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman Wahid.
Pemerintah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur pemerintahnnya sendiri. Sejak inilah Islam Indonesia banyak dikenal lebih pada gerakannya, beberapa gerakan yang anarki dengan mengatasnamakan amar ma’ruf lebih sering didengar masyarakat daripada kegiatan-kegiatan ilmiah dan kajian-kajian untuk mengeksplorasi Islam.

v Islam Indonesia Pasca 11 September
Merespon Amerika, Mencari Sekutu, Mencipta Enemi Baru tak ada yang menyangka, bahwa 11 September 2001 lalu, WTC di New York yang secanggih itu security-nya bisa hancur luluh dalam hitungan menit dan menggegerkan dunia. Banyak simpati dunia akan tragedi itu kepada Amerika. Presiden Megawati, bahkan, menjadi tamu pertama George Bush setelah peristiwa itu dan menyatakan dukungannya bahwa Indonesia di belakang setiap usaha untuk menumpas kekerasan/terorisme. Namun apa yang terjadi? Setelah “ malapetaka Amerika ” ini, muncul misi Amerika; perang melawan teroris. Indonesia pasca tragedi itu, pernah dijuluki surga bagi teroris, dengan merujuk situasi gerakan Islam belakangan.
Dikatakan bahwa otak pengeboman itu; Osama bin Laden, banyak mempunyai network dengan pentolan ormas-ormas yang lahir belakangan. Asumsi ini timbul karena meningkatnya gerakan Islam radikal di Indonesia. Mereka misalnya dikenali dengan ciri-ciri; penggunaan simbol-simbol Arab, sering mengerahkan massa, cita-cita menegakkan negara Islam dan lain-lain. Bagi mereka, terutama mereka yang melihat perkembangan Islam di Indonesia belakangan, gejala ini memunculkan kekhawatiran tersendiri, terutama ketakutan matinya demokrasi di Indonesia.
Bukan itu saja, gerakan yang didanai secara swadaya, ini juga rentan akan kedekatannya dengan penyandang-penyandang dana dari Timur Tengah. Sejak Amerika memproklamirkan war againts terorist, Indonesia masuk dalam sasaran ini. Apakah yang populer dan bisa diinventarisir dalam sorotan dunia tentang isu Islam di Indonesia pasca tragedi 11 September? Pertama, isu Jamaah Islamiyah (JI). Organisasi yang hampir tak pernah dikenal di Indonesia ini, disinyalir sebagai sarang lahirnya teroris. Meski sebenarnya banyak tokohnya ada di Malaysia, tak urung orang-orang yang pernah terlibat atau berhubungan dengan almarhum Abdullah Sungkar, sang pemimpin di Malaysia di manapun berada dianggap telah ikut menghidup-hidupkan JI ini.
Di Indonesia, nama Abu Bakar Baasyir, ketua MMI dan pengasuh pesantren Ngruki ini mendadak menjadi sangat terkenal, dalam kasus pencarian jaringan JI. Apapun alasannya, akhirnya ia berhasil dikenai dengan serangkaian tuduhan makar maupun aktor di balik terjadinya gerakan-gerakan Islam garis keras.
Kedua, meningkatnya sentimen anti-Amerika. Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001, Indonesia sebenarnya menunjukkan atensi dan simpati serta mengutuk perbuatan tak berperikemanusian ini, siapa pun pelakunya. Namun keputusan pemerintahan Amerika untuk menyisir Afganistan, negeri di mana Osama bin Laden kira-kira bersembunyi, telah melukai banyak umat muslim di Indonesia.
Afganistan memang di bawah rezim Taliban yang ditengarai sangat radikal dan literal dalam pemahamaman keagamaan, namun bukan kewajiban Amerika untuk kemudian menyerangnya dengan alasan untuk membebaskan rakyat dari kekuasaan yang tiran sambil mencari-cari Osama. Agresi tetap agresi, di mana tindakan Amerika ini tak bisa meluputkan jatuhnya korban korban sipil. Setelah sukses dengan Afganistan dan memberinya “ kompensasi dengan kebijakan barunya menyerang Irak.
Apapun alasannya, Irak yang sampai hari belum sesukses Afganistan untuk ditaklukkan, Amerika telah menjadikan Irak sebagai seteru baru dan seolah-olah menjadi imaginer enemy. Untuk melakukan itu semua Amerika tidak sendiri, ia banyak mendapat sekutu, terutama sebagian negara-negara di Eropa.
Policy pemerintahan Amerika seperti di atas, sebenarnya sangatlah membuat risih. Banyak orang kemudian –termasuk di Indonesia- yang menggeneralisir bahwa apapun yang berbau Amerika harus dimusuhi, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Di Indonesia, ketika terjadi penyerangan-penyerangan itu, tak sedikit waralaba-waralaba Amerika yang ingin dihancurkan. Sementara orang kulit putih dari negara manapun, menjadi target kekerasan bom, maupun sweeping. Ini yang kemudian membuat sejumlah negara memberikan warning kepada turis untuk datang ke Indonesia.
Ketiga, menguatnya citra Islam radikal di Indonesia. Media massa, baik dalam maupun luar, telah banyak mengekspos berita-berita tentang wajah Islam di Indonesia yang seringkali tanpa reserve. Lihatlah, bagaimana istilah JI bisa sangat populer, bagaimana setiap saya bertemu dengan orang asing, selalu ditanya tentang Islam Fundamentalis, FPI dan sebagainya. Hal ini tentu disebabkan konstribusi media yang besar dalam menimbulkan opini publik yang suka atau tidak suka telah mengubah wajah Islam di Indonesia.
Keempat, meningkatnya aksi bom untuk dan atas nama jihad. Bagaimana pun, ketika dunia masih tersentak dengan peristiwa 11 September, selanjutnya Bali terjadi dan disusul dengan Bom J.W. Marriot hotel.

v Penutup
Wajah Islam di Indonesia selalu mengalami perubahan bentuk dari waktu ke waktu. Masa pra kemerdekaan sebenarnya tak jauh dengan masa Soeharto. Pada masa reformasilah, yang banyak mendapat sorotan dunia. Saat itu, wajah Islam kita tiba-tiba total menjadi Islam yang yang suka menunjukkan kekuatan dan banyak mencita-citakan mati syahid (martir) kalau berhasil melenyapkan orang yang didefinisikan sebagai musuh.
Meski citra ini mereduksi wajah Islam Indonesia yang toleran dan ramah, publik atau dunia mulai melihat titik terang Islam di Indonesia. Mereka misalnya sering mencari rujukan-rujukan model keberagamaan seperti di NU dan Muhammadiyah. Sebutlah yang agak kontroversial misalnya, undangan Presiden Bush sewaktu ke Bali dan safari dubes AS ke beberapa tokoh dan pesantren.


Ø SUMBER
1. Prof. Dr. P.S. Van Koningsveld. Snouck Hurgronje dan Islam; Delapan Karangan Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial Islam
2. Pergulatan Muslim; Otobiografi Hasan raid
3. www.wikipedia.net
4. www.google.com

Tidak ada komentar: